CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI MENJUAL DIRI

CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI MENJUAL DIRI


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI MENJUAL DIRI, Hasrat-Bispak25 Semuanya orang didalamnya perlu bertarung dan berkorban supaya tak terdepak, serta tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita peristiwa hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang mengetahui nama asli saya. Bapak serta Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa untuk anak wanita di daerah saya, namun maknanya gak hanya itu. Denok  memiliki arti montok alias sintal, serta ternyata makna itu yang lebih dikenang banyak orang-orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Saat kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Sejak mulai kecil saya diajari menari oleh Simbok, karena beliau sendiri waktu muda ialah seorang penari, dan sering ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti waktu satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak miliki banyak hutang dikarenakan hilang ingatan judi, dan beliau tidak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang berduka karena Bapak telah tidak ada, namun juga kebingungan sebab sekian hari seusai Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah karena rumah kami diambil biro judi yang memberikan hutang pada Bapak. Kami gak miliki lokasi tujuan, serta uang simpanan kami gak berapa. Simbok selanjutnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan dibanding di sini," kata Simbok.


Saya sekedar alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima lantaran dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak penting ijazah, lawan begitu banyak. Pada akhirnya sesudah lumayan lama melihat beberapa peluang yang ada, Simbok menetapkan untuk manfaatkan ketrampilan kami. Hanya modal kemeja dan perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang persiapan ujian akhir SMA atau menjalankan tahun awal kuliah, serta yang di dusun tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai jalani kehidupan baru, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Sebelumnya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan beberapa lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang pengen kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya gak mudah pun cari uang dengan sebagai berikut, paling-paling yang kami peroleh hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x dalam hari itu. Dan tidak di seluruhnya tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, terkadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sehabis lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami juga sewa satu kamar sewa murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, berasal dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah masing-masing. Hadirnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun kerapkali helai-lembar itu dikasih ke kami oleh kurang santun semisalnya dengan diumpetkan ke baju kami. Apa saya dan Simbok memang memikat? Tidak tahu ya. Saya sendiri tidak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar semenjak kecil, kulit saya jadi cukup gelap terbakar matahari. Tetapi Simbok pun sejak dahulu terus mengarahkan dan mengingati saya untuk menjaga badan walaupun lewat langkah simple, jadi walau sawo masak, kulit saya masih mulus dan tak jerawatan manalagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Ditimbang-timbang betul  sich jika di katakan saya montok. Tidak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepres, kok tetap juga tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur sampai saya terus khawatir dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula kuat lantaran dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang ngomong bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang menganggapnya demikian. Terheran-herannya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya bakal menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, kalaupun Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau masih elok. cerpensex.com Manalagi jika sudah gunakan sanggul serta dandan, wuihh. Seluruh orang nengok serta gak saksikan apapun kembali. Saya sendiri terus terasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Selainnya Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok seluruhnya ngomong saya elok. Saya berpikir, itu sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertama kalinya didandani buat ngamen, saya protes, kok ribet benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk dan kembang. Muka perlu dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat makin tebal. Bibir pun diberi gincu warna merah oke. Saya masa itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membuat puas yang menonton."


Makin lama saya biasa pun memanfaatkan dandanan begitu, justru saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis setiap hari terbentuk penganten, sesaat kalaupun nikah betulan perlu kayak apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, seperti sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun betul-betul yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang ketahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, malapetaka ada kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya cemas, beberapa orang di seputar beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Tetapi Simbok tidak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pun Simbok sudah tidak ada angan-angan, tetapi entahlah mengapa beliau lama sekali wafatnya. Sekaratnya hingga sepanjang hari. Hingga sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Masa itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu kematiannya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Tetapi apa itu betul atau gak, saya tidak mau tahu, biarkanlah itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit serta penyemayaman, justru harus berutang kemanapun. Saya tidak sanggup melangsungkan acara beberapa macam buat Simbok, cuma dapat doakan sendiri mudah-mudahan sukma Simbok dapat tenang di alam sana serta bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewaan saja karena sangat berduka. Kemungkinan setiap hari saya menangis, bersusah-hati ingat Simbok, pun kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, karena uang telah habis dan saya  perlu lawan banyak tukang tagih hutang yang tidak ingin tahu kesukaran saya . Sehingga, 1 minggu setelah Simbok disemayamkan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya supaya gak tampak sejumlah bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, cocok keluar kamar saya jadi berjumpa dengan ibu yang mempunyai kontrak. Sang ibu tidak pakai basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak mempunyai uang, jadi saya hanya dapat ngomong maaf, serta sang ibu justru ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, ujarnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya masalah untuk saya. Saya pengin usaha dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA PENARI JALANAN BERTUBUH BOHAI MENJUAL DIRI


Apesnya, hari itu pasar cukup sepi, dan selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala sarat dengan pemikiran, bagaimana tekniknya biar kelak kalaupun pulang sudah memiliki cukup uang untuk bayar sewa. Belum beberapa hutang yang lain. Mendekati siang, saya lagi jalan di barisan beberapa toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya menyaksikan Juragan lagi hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu cuman mengenal beliau selaku ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua ketimbang Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar serta perutnya gemuk. Sekali 2x saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberinya kami uang tetapi beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta berada di belakang. Tokonya sedang sepi, tidak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan menyaksikan saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya tidak kuat bilangnya. Tetapi saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penguburan Simbok… saat ini saya perlu bayar sewa dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan secepat-cepatnya."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu butuh uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya kesal tetapi tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tidak dapat cukup uang ini hari untuk membayar sewaan. Kalaupun berjualan, saya tidak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok berganti menjadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, hingga sampai pipi saya melekat dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa tujuannya itu.


"Jika kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan kedepan," bisik Juragan kembali. WAJIB 4D


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya penting uang, namun apa perlu lewat cara sesuai ini? Namun bila tidak, bagaimana kembali? Yang ada saya akan ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai tidak terdengaran. Kalaupun saja tidak ketutupan bedak, barangkali telah terlihat muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Marilah turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi melihati lantai, tak berani membawa kepala, tetapi sesekali saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang memberikan Juragan dengan orang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sembari tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari omong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Barangkali ia saksikan mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," tuturnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, menyaksikan uang itu. Besar sekali untuk saya. Rata-rata sepanjang hari menari saya tidak pernah mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya masih tetap kuatir. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tidak ingin ya telah," ujarnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, dan saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar kesempatan ini ada laki laki jujur ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu baru saja diletakkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia sisipkan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," ujarnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awalnya saya serta Simbok harus menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya memperoleh duit sejumlah itu … kok ringan sekali?


"Betulan buat saya…?" Tetap tidak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sembari menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang omong itu ke saya… Jantung saya deg-degan mendengarkannya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, serta kainnya melaju demikian saja tanpa saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan meminta saya membuka pula kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena mungkin barusan saya malu serta lamban satu kali membuka kemben, Juragan dekati saya dan membeberkan kain batik saya. Saya langsung mundur, tetapi tangan Juragan selanjutnya menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" tuturnya.


Juragan  menggenggam paha saya masih sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Suara "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya terus nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, dan saya kian deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari kemasnya, sedikit kembali kancut saya nampak!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa semestinya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sekalian saya tiduran itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya untuk pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, tetapi tidak tahu mengapa, saya pula kok rasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan tiada henti menyaksikan sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.


"Marilah donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, jika kamu pengen kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya gak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama